Tuesday, August 26, 2008

ORANG KAYA DAN PENGEMIS

Di salah satu sudut jalan kota Jakarta terdapat sebuah rumah mewah. Di sana, tingga sepasang suami istri yang hidup dengan kemewahan harta.

Suatu ketika, mereka tengah makan siang. Di atas meja tersedia beragam hidangan, di antaranya ayam panggang. Tiba-tiba seorang pengemis datang mengetuk pintu. Sontak, sang istri berkata kepada suaminya “Pak, ada pengemis di depan rumah, kasihan, Pak. Kita kasih sepotong ayam panggang ya? Sang suami tiba-tiba membentaknya, “Jangan! Usir pengemis itu, suruh dia pergi dari rumah kita.”

Hari berganti hari, bulan berubah sampai menjadi tahun. Kehidupan terus berjalan. Si kaya yang digelimangi segala kenikmatan berubah jatuh miskin. Istri kesayangannya ditalaknya. Setelah ditalak, sang istri kawin lagi dengan seorang lelaki kaya.

Kemudian, terulang lagi peristiwa di saat sang istri makan siang bersama suaminya yang baru. Di atas meja terhidang berbagai makanan, dan tak ketinggalan pula sepiring ayam panggang.

Seorang pengemis dating mengetuk pintu meminta makanan. Sang suami berkata kepada istrinya dengan penuh rahmah, “Ambillah sepiring nasi dan sepotong ayam panggang sebagai lauknya berikan kepada pengemis itu.”

Setelah nasi dan ayam panggang diberikan kepada pengemis, sang istripun menangis. Suaminya sangat heran dan bertanya, “Kenapa kamu menangis? Apakah kamu marah, karena aku member I pengemis itu nasi dan ayam panggang?”

Istrinya menjawab, “Tidak, Pak, tidak sama sekali. Aku menangis karena ada sesuatu yang sangat ganjil dan ajaib. “ Sang suami jadi penasaran ingin tau apa yang ajaib dan ganjil itu. Ia pun bertanya, “Bu, apa gerangan yang ajaib dan ganjil itu?” Istrinya menjawab, “Apakah kamu tahu siapa pengemis yang dating di depan pontu tadi? Sambil mengisak sedih dia berkata, “Dia suamiku yang pertama.”

Suaminya tak terlalu terkejut. Dia malah berkata kepada istrinya, “Apakah kamu tahu siapa aku sebenarnya? Aku adalah pengemis yang dulu pernah dating ke rumahmu.”

Sumber: Majalah Mata Air Edisi Maret 2008

Tuesday, August 12, 2008

The Kite Runner

Amir dan Hasan dibesarkan bersama hingga mereka sudah seperti saudara. Amir telah menjadi mata bagi Hasan yang buta huruf, dan Hasan selalu menjadi pelindung dan selalu hadir terdepan untuk membela Amir. Namun seringkali Amir merasa tersaingi karena kasih sayang Babanya terbagi untuk Hasan, yang hanya anak seorang pembantu.
Untuk mraih simpati Baba dan menyenangkan hatinya, sore itu Amir ikut mengejar untuk mendapatkan layangan terakhir. Hasan, pengejar layang-layang yang jitu memenangkan layang-layang untuk Amir. Amir hadir disitu, melihat Hasan mempertaruhkan hidupnya untuk kebahagiaan majikannya, Amir. Saat itu Amir pempunyai pilihan, membiarkan Hasan mengalami pelecehan seksual atau membela Hasan meskipun tidak tahu apa yang akan terjadi adanya.
Amir melilih untuk lari, dan mendapatkan apa yang dia inginkan, layangan biru dan mempersembahakannya untuk Babanya dan menjadi kebanggaan Babanya. Namun hidupnya dihantui perasaan bersalah, bayangan ceceran darah di celana Hasan selalu menjadi mimpi buruk baginya. Tidak ada pilihan lain, dia tidak ingin bertemu dengan Hasan lagi. Hasan diusir dari rumahnya.
Amir melanjutkan hidupnya berdua saja dengan Babanya dan tinggal di Amerika, pergi dari Afghanistan yang dilanda konflik. Amir menyimpan rahasianya rapat-rapat. Puluhan tahun berlalu, namunmimpi buruk itu kembali. Amir bertemu kembali dengan sahabat Babanya. Beliau mengetahui rahasia Amir dan menyayangkan apa yang dilakukan Amir. Rasa bersalah itumuncul kembali saat Amir mengetahui bahwa Hasan adalah saudara tirinya, putra Baba yang lahir dari kesalahan masa lalunya.
Dunia serasa runtuh, dia telah membunuh masa depan saudaranya sendiri. Amir ingin menbus kesalahannya, namun semuanya telah terlambat, Hasan telah tiada. Untuk menebus kesalahannya, dia berusaha mencari Sohrab putra Hasan. Perjuangannya untuk mendapatkan Sohrab tidak mudah, dia harus berhadapan dengan tentara Taliban. Hingga bertemu dengan laki-laki yang sama yang melakukan pelecehan seksual terhadap Hasan dan Sohrab. Amir mempertaruhkan hidupnya membebaskan Sohrab dan untuk menghapus mimpi buruk yang selama ini menghantuinya.
Khalid Hosseini adalah penulis yang luar biasa. Dia menuliskan kisah persahabatan berlatar belakang konflik di Afghanistan yang mampu membuat pembacanya tersihir. Mengharukan dan menguras air mata. Dia menampilkan konflik yang sangat kompleks, pengkhianatan, peperangan, pembantaian, bahkan pelecehan seksual. Khaled Hosseini mampu menyihir pembacabya hingga tidak dapat berhenti membaca hingga akhir cerita.

Monday, August 04, 2008

Perkampungan Baduy nan Eksotik

Perkampungan Baduy adalah sebuah perkampungan tradisional tempat tinggal suku baduy yang masih memegang adat dan tradisi dan menjunjung tinggi keyakinan leluhur. Bertempat di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten sekitar 2 jam dari Kota Rangkasbitung.
Untuk kami yang melakukan perjalanan dari Depok, perjalanan ini dapat di tempuh dengan menaiki kereta api dari Stasiun Kota atau Tanah Abang hingga turun di Stasiun Kereta Api Rangkasbitung sekitar 3 jam. Kemudian naik angkutan umum ke Terminal Bus Aweh,dan langsung dilanjutkan dengan naik Angkutan PS jurusan Ciboleger. Di sana adalah jalan masuk utama ke daerah Perkampungan Baduy. Atau perjalanan juga bisa ditempuh dengan menaiki bus Jakarta-Rangkasbitung dari Kalideres, Kampung Jeruk atau Tanjung Priok dan turun di Terminal Bus Mandala, Rangkasbitung dan melanjutkan perjalanan ke Desa Nangerang, Kecamatan Bojongmanik. Di sana juga ada jalan alternatif lain menuju Perkampungan Baduy selain Desa Ciboleger.
Perjalanan ini adalah perjalanan yang direncanakan oleh Britzone Community yang merangkul mahasiswa Arkeologi UI untuk menjadi panitia. Sementara kami – Lia dan Puji – hanya kebetulan diajak oleh mahasiswa-mahasiswa Arkeologi atas rujukan Mba Maria untuk membantu mereka menjadi panitia, sebagai tim konsumsi karena mengetahui seluk beluk Pasar Kota Rangkasbitung. Bagaimana tidak, saya adalah orang asli Kota Rangkasbitung, namun sayangnya malah tidak pernah mengunjungi Perkampungan Baduy tersebut, malu dengan mahasiswa-mahasiswa Arkeologi UI yang sudah berkali-kali ke sana. Semuanya serba dadakan, persiapannya kurang. Briefing untuk tim advance saja dilakukan semalam sebelum keberangkatan.
Kami berangkat dari Depok Jumat pagi. Dari Stasiun Rangkasbitung, kami tim Advance – Saya, Puji, Ka Andy, Ka Idham dan Ka Iqbal – beristirahat di rumah, karena memang rumah saya dekat dengan stasiun. Untungnya mereka sempat melakukan Sholat Jumat di Mesjid di dekat rumah, sementara kami menyiapkan makan siang. Selanjutnya kami berbelanja semua bahan makanan untuk konsumsi selama di Baduy hingga sore. Setelah beristirahat sejenak di rumah kami berangkat pukul 16:30 menuju Ciboleger.
Perjalanan ini sungguh luar biasa. Luar biasa melelahkan tentunya. Perjalanan dari Ciboleger yang biasa ditempuh selama ½ jam ke perkampungan Baduy Luar, perjalanan harus ditempuh hingga satu jam, karena kami membawa bahan bahan makanan yang luar biasa banyaknya. Setiap orang membawa bawaan yang luar biasa berat, bahkan saya dan Puji. Belum lagi kami yang memang datang ke Ciboleger pukul 6 sore, saat hari sudah gelap. Sementara tidak ada satu orangpun di antara kami yang membawa senter atau alat penerangan kami. Akhirnya Ka Idham membeli sebuah senter, maka jadilah kami melakukan perjalanan dengan hanya diterangi satu buah senter dan penerangan lampu handphone seadanya. Seringkali kami berhenti di perjalanan, entah itu di pemukiman penduduk atau di hutan, kami tidak peduli, kami sudah kelelahan, jantungku berdetak cepat sekali. Keringat juga mengucur deras, terus terang saya tidak pernah melakukan perjalanan seekstrem ini. Jalanan yang terjal, licin, gelap dan melelahkan. Tapi saya tidak boleh mengeluh, saya hanya diam walau kaki ini sudah berat rasanya. Saya tidak boleh menyusahkan, dan tampak lemah di depan mereka.
Suara gamelan mengalun indah sekali, artinya kita sudah sampai di Perkampungan Baduy Luar. Ya, kami sampai di Desa Balimbing, rumah Kang Sarpin, tempat dimana kami akan bermalam. Ucapan syukur saya ucapkan, akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Kami disambut oleh Teh Marnah, istri Kang Sarpin yang ramah. Sementara Kang Sarpin sedang berada di Lembang, Bandung katanya. Kemudian kami beristrirahat, solat dan makan malam yang disiapkan oleh Teh Marnah dan dengan bekal yang memang disiapkan Mamah dari rumah.
Perjalanan tadi terbayar sudah, berada di surga dunia rasanya. Setelah perjalanan yang melelahkan, disambut dengan udara yang dingin, lantunan irama gamelan yang indah, suasana nan eksotis, perumahan penduduk yang menyejukkan dari bilik-bilik bambu dan indahnya bulan purnama di pertengahan Bulan Rajab ini. Rasanya tidak ingin pergi dari sini. Malam ini saya berada jauh dari rumah, di sebuah desa yang jauh dari dunia luar, tidak ada sinyal handphone, tidak ada listrik, hanya lampu tempele menerangi malam-malam kami. Serasa mimpi rasanya…
Saya beruntung dapat menjadi salah satu dari tim advance, sehingga bisa mengunjungi perkampungan ini lebih lama, 2 hari 2 malam. Dari hari Jumat Sore hingga Minggu Sore untuk menyiapkan konsumsi untuk para peserta, sementara peserta datang Sabtu sore hingga Minggu sore. Jadi malam ini saya harus beristirahat dengan cukup, untuk menyiapkan makanan untuk para peserta dan panitia, untuk 25 orang.
Pagi ini kami – saya dan Puji – disibukkan dengan kegiatan memasak untuk sarapan pagi dan makan siang tim advance. Kemudian sementara Ka Idham, Ka Andy dan Ka Iqbal menjemput peserta di Rangkasbitung, kami menyiapkan makan sore dan makan malam untuk peserta. Kami menyiapkan semuanya di awal, sehingga siang itu kami bisa berjalan-jalan ke sekitar sungai. Sungguh indah sekali, air yang dingin dan bersih dan masih ada batu-batu besar yang menghalagi aliran sungai. Saya tidak ingin melewatkan pemandangan indah ini dan mengabadikannya lewat foto.
Para peserta datang sore hari, setelah mereka beristirahat sebentar. Kemudian mereka berjalan-jalan ke Desa Gajebo. Dan malam ini, kami makan malam bersama dengan peserta dan Mang Aja, Lurah dari Perkampungan Baduy Dalam yang kebetulan singgah di rumah Kang Sarpin dengan menu makanan yang memang disiapkan untuk malam istimewa ini, masakan khas sunda – sayur asem, ikan asin, sambel terasi dan goreng oncom.
Kemudian acara dilanjutkan dengan menonton kegiatan kesenian warga, berlatih alat musik gamelan, alunan musik yang indah yang semalam kudengar. Luar biasa mereka memainkan alat musik gamelan yang merupakan hasil iuran warga itu di tengah kegelapan, hanya diterangi lampu tempel di sudut ruangan. Ada kejadian konyol yang mengundang tawa, saat itu peserta begitu antusias menonton pertunjukkan itu dan mengabadikannya lewat kamera dengat blitz yang menyilaukan. Seorang Baduy yang sedang memainkan alat musik berkata, “Coba ulah dipotoan bae, serab!” Coba jangan difotoin terus, silau! Bahasa yang digunakan suku Baduy adalah bahasa sunda. Saya dan Puji yang memang mengerti bahasa sunda, tertawa-tawa dibuatnya.
Malam ini kami tidak bisa tidur dengan nyenyak, karena kami harus menyiapkan konsumsi untuk besok, untuk pagi, siang, dan sore. Malam itu, kami menyiapkan bahan makanan untuk besok, menyiapkan bumbu dan memotong sayuran agar besok tinggal dimasak, kami menyiapkan makanan hingga jam 12 malam. Sementara Ka Idham dan Ka Yoki, leader perjalanan ini memasak nasi hingga jam 4 pagi. Dan tidak tidur semalaman. Kemudian kami bangun pukul 4 pagi , saat kami melihat nasi yang telah dimasak Ka Yoki, kami hanya tersenyum, nasinya kurang matang!! Haha, tapi biarlah orang yang kelaparan tidak akan memperdulikannya kan? Kami sangat menghargai pengorbanan mereka yang tidak tidur semalaman.
Kami mulai melanjutkan memasak bahan makanan. Dan membungkus makanan untuk bekal siang dan sore. Tapi masalahnya, kertas nasi yang dibeli kurang, sementara disini tidak ada yang menjual kertas nasi. Terpaksa kami harus mencarinya ke Ciboleger dan Ka Yoki mencarinya kesana! Padahal malam itu dia tidak tidur! Dan dia melewati jalan yang kita lewati ke Ciboleger hanya dalam waktu ¼ jam!!! Luar biasa, dia berlari. Kemudian dia menodong penjual nasi uduk disana untuk menjual kertas nasinya.
Tapi sayang sekali, Kang Sarpin menyarankan untuk tidak usah membawa bekal untuk sore hari karena kemungkinan sore hari mereka sudah ada dalam perjalanan pulang ke Jakarta. Jadi perjuangan Ka Yoki mencari kertas nasi ke Ciboleger dan memasak nasi hingga jam 4 pagi dan tidak tidur semalaman sia-sia. Maaf ya Kak, maaf banget..
Kami selesai memasak dan packing jam 7 pagi, kemudian kami sarapan pagi bersama. Ditemani Mang Aja, kami berangkat untuk melanjutkan perjalanan ke Baduy Dalam dengan rute ke Desa Cibeo, Cikeuta Warna, Cikadu kemudian langsung ke Desa Nangerang. Karena bus yang kami sewa menunggu kami di sana dan akan membawa kami ke Terminal Mandala, karena peserta akan pulang ke Jakarta dengan menaiki bus Rangkasbitung-Jakarta.
Awalnya saya ragu untuk ikut perjalanan ke Baduy Dalam, mengingat perjalanan ekstrem Jumat malam lalu. Apalagi katanya perjalanan ini lebih ekstrem, kami harus menempuh perjalanan 3 jam kesana. Tapi saya tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Sekali lagi saya yang orang Rangkas tidak mau kalah dengan orang Jakarta.
Saya rasa saya tidak menyesal mengikuti perjalanan ini, karena meskipun medannya memang jauh lebih ekstrem, tapi setidaknya saya tidak membawa beban sebanyak malam itu, jadi perjalanan ini saya lalui dengan menyenangkan. Sungguh perjalanan ini luar biasa menyenangkan, melewati jembatan demi jembatan, sungai demi sungai, hutan demi hutan, jurang demi jurang, terpeleset sedikit saya akan jatuh ke jurang yang di bawahnya batu-batu atau sungai yang sama menyeramkannya. Tapi pemandangannya sungguh luar biasa saat kita berada di atas bukit, semuanya begitu indah, kita dapat menghirup udara segar.
Sepanjang perjalanan kami menemukan tumbuhan-tumbuhan liar, tanaman-tanaman obat, bunga-bunga yang indah, jamur yang beraneka ragam bahkan jenis-jenis lumut yang berbeda yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Hal ini yang membuat saya dan Puji semakin bersemangat. Kami berjalan paling depan, bahkan melewati Ka Yoki sang leader. Para peserta sampai heran melihat semangat kami, maklumlah kami kan paling muda di antara peserta-peserta yang lain yang sudah bekerja atau setidaknya kuliah tingkat akhir. Kami senantiasa berceloteh riang tentang ketakjuban kami melihat pemandangan indah sepanjang perjalanan. Atau bercerita, bercanda dan tertawa dan hanya kami yang mengerti. Mereka heran, kok engga ada capeknya? mengoceh terus sepanjang perjalanan. Mereka bingung, apa yang semalam kami makan sampai kami setangguh ini. Hehe..
Perjalanan ini memang melelahkan. Kita seringkali berhenti dan beristirahat untuk sekedar melepaskan lelah. Sulit sekali melewati medan-medan yang terjal ini, maka peserta saling berpegangan tangan untuk membantu satu sama lain. Saya dan Puji saling membantu saat menemui tanjakan atau turunan. Perjalanan ini juga terasa menghibur karena kekonyolan-kekonyolan dan candaan yang dilontarkan oleh peserta. Setidaknya, lelah ini serasa berkurang.
Peristirahatan selanjutnya adalah sebelum jembatan terakhir, karena sang leader berkata kami harus menyiapkan tenaga untuk perjalanan selanjutnya. Kita akan melewati tanjakan yang sangat ekstrem, hingga orang-orang menyebutnya jembatan patah hati. Dan ternyata kita memang benar-benar patah hati dibuatnya, rasanya kami tidak pernah menemukan ujung dari tanjakan ini, panjang… sekali. Kaki ini lemas, perut ini mual, apalagi saya harus menarik Puji yang kelelahan. Ayo, Lia harus semangat!!! Sungguh membuat patah hati, sejauh mata memandang hanya tanjakan, dan kita tidak tahu bahwa di ujung pandangan mata ternyata tanjakan juga. Sayangnya kami tidak boleh mengabadikannya karena ini sudah termasuk daerah Baduy Dalam. Di Baduy Dalam, kita tidak boleh menggunakan alat-alat elektronik, bahan kimia seperti sabun atau shampoo jika tidak ingin menerima sumpah-sumpah dari orang-orang Baduy sana.
Ternyata benar di ujung Tanjakan Patah Hati ini kami telah sampai di daerah Baduy Dalam. Karena kami lihat orang-orang telah mengenakan kain penutup kepala putih, itu adalah salah satu ciri-ciri orang Baduy Dalam. Kami beristirahat setelah melalui tanjakan ekstrem itu. Seorang Baduy di belakang kami yang sedang berada dalam saungnya menawarkan kami sekeranjang pisang ambon yang luar biasa enaknya, manis dan dingin. Dia juga menyuguhkan air minum yang sama dinginnya. Di dalam saungnya yang dingin itu, yang disimpan di dalamnya menjadi dingin seperti di lemari es, luas biasa bukan? Kemudian ia menawarkan kelapa muda pada kami. Wah, tentu saja kami tidak menolaknya. Kami melanjutkan perjalanan ke rumah Mang Aja dan orang Baduy itu akan membawakan kelapa-kelapa muda ke rumah tersebut.
Tidak jauh dari saung tersebut, kita telah sampai di Perkampungan Baduy Dalam, Cibeo. Rumah-rumahnya sedikit berbeda dengan di Perkampungan Baduy Luar, lebih dingin kelihatannya. Perkampungan Baduy Dalam seluruhnya terdiri dari 500 orang yang terdiri dari 95 rumah atau 95 kepala keluarga. Kami beristirahat di rumah Mang Aja. Kami dibawakan kelapa muda yang lezat, airnya manis dan dagingnya lembut. Kemudian sedikit berbelanja kerajinan tangan buatan orang Baduy dan bermain di sungai tepat di belakang rumah Mang Aja.
Perkampungan ini sepi, wanita-wanitanya yang katanya cantik dan putih bersembunyi di dalam rumah. Tapi kulihat satu wanita Baduy dalam berkerudung yang memang benar ternyata, putih dan cantik, dan dia segera berlari karena malu melihat kami.
Kami melanjutkan perjalanan ke perkampungan lain di Baduy Dalam, Cikeuta Warna. Di sini terdapat Aula yang merupakan tempat berkumpulnya kepala-kepala desa dari setiap kampung untuk memusyawarahkan sesuatu. Di desa ini juga terdapat tempat tinggal Puun, Beliau adalah pemegang kekuasaan tertinggi di seluruh perkampungan Baduy, baik Baduy Luar maupun Baduy Dalam. Rumah Puun terlihat berbeda dengan rumah-rumah lainnya, rumah ini terdapat garis larangan bahwa kita tidak bisa masuk kesana. Selanjutnya desa yang kita lewati adalah Desa Cikadu, di beri nama demikian karena disana banyak sekali pohon durian. Sayangnya saat kami kesana pohon-pohonnya baru berbunga. Kemudian kami keluar dari Perkampungan Baduy Luar dan memasuki Perkampungan Baduy Dalam dan menuju Desa Nangerang seperti rencana sebelumnya.
Medan yang dilalui dalam perjalanan pulang ini sama dengan dengan perjalanan sebelumnya. Terjal, licin, berbatu, melewati jembatan, sungai dan jurang. Tapi perjalanan ini terasa lebih berat karena kami telah kelelahan sepanjang perjalanan tadi. Kami mengoceh sepanjang perjalanan, karena kang Sarpin berkata bahwa rute ini adalah rute tercepat untuk pulang karena medannya lebih datar. Mungkin untuk Kang Sarpin yang orang Baduy dan telah terbiasa menempuh perjalanan ini terasa datar. Tapi bagi kami ini adalah sebuah penderitaan. Hiks… Tanjakannya lebih terjal, turunannya lebih curam. Baru melewati tanjakan yang terjal, maka kami akan menemukan tanjakan yang lebih terjal begitu seterusnya. Begitu juga setelah melewati turunan yang curam makan akan menemukan kembali turunan yang curam. Rasanya tidak ada habisnya. Saya sulit melewatinya karena sepatu sandal yang saya gunakan licin, basah karena air sungai. Saya tidak bisa melaluinya sendiri. Saya butuh Puji!!! Hehe..
Akhirnya kami sampai di Desa Nangerang dimana mobil angkutan menunggu kami. , pakaian kami juga kotor, kami kelelahan, kehausan dan kelaparan. Saat kami membuka bekal kami, alangkah kagetnya, bekal yang kami siapkan ternyata basi. Menu yang kami siapkan adalah nasi, telur dan cap cay. Memang ini salah kami panitia, seharusnya makanan yang kami siapkan untuk bekal siang adalah makanan yang kering dan awet. Belum lagi saat dibungkus tadi pagi, nasi dan cap caynya baru dimasak dan masih panas tapi langsung dibungkus rapat, jadi cepat basi. Kami sungguh merasa sangat bersalah pada para peserta, kami juga tidak tega melihat mereka yang kelaparan. Kami tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Kami berkali-kali meminta maaf pada para peserta.
Kami melanjutkan perjalanan ke Terminal Mandala, peserta makan di warung makan di sana. Kemudian mereka berangkat ke Jakarta dengan tujuan masing-masing. Ada yang ke Tanjung Priok, Pluit, Depok dan sebagainya, mereka menaiki bus yang berbeda-beda. Begitu juga tim advance, Puji, Ka Iqbal dan Ka Andy ke Depok. Ka Yoki dan Ka Idham akan melanjutkan perjalanan ke Jogjakarta, mereka luar biasa memang. Saya tidak tahu, mereka punya berapa cadangan kaki! Saya sendiri merasa tidak kuat, untuk berjalan walau barang sedikit dari gang ke rumah, saya menelfon ke rumah dan minta dijemput di Terminal Mandala.
Wah, sungguh luar biasa seru, luar biasa menyenangkan, dan tentunya luar biasa melelahkan. Kaki berasa pegal, remuk dan patah-patah rasanya. Tapi sungguh luar biasa berkesan, pengalaman yang takkan bisa terlupakan. Saya jadi ketagihan! Say berencana mengajak teman-teman ANTARTIKA, teman-teman SMA kami dulu melakukan perjalanan ini. Ke Baduy!!! Tapi mungkin tidak untuk sekarang-sekarang ini, karena kami harus memulihkan stamina dan mengumpulkan tenaga baru!
Terima Kasih untuk semuanya. Perjalanan ini takkan berkesan tanpa kalian. Puji, teman seperjuanganku. Haha.. Kakak-kakak Arkeologi, Ka Yoki, Ka Andy, Ka Iqbal dan Ka Idham. Kalian luar biasa!!! Mba Maria dari BritZone Community yang sudah merencanakan acara ini. Ka Farhan, Ka Pras dan Mr. Ali yang telah menghibur kami sepanjang perjalanan. Mas Tedi, Mas Fery, Mba Femi, Mba Puspita, Mba Meti, Mba Atri, pokoknya semuanya dari BritZone Community. Terima kasih banyak, dan maaf banget atas semua ketidaknyamanan ini (makanan basi, makanan keasinan, dan sebagainya). Juga tidak lupa terima kasih untuk Kang Sarpin Sekeluarga, Teteh, Marno, Mulyono yang sudah direpotkn. Mang Aja, Pulung dan ayahnya, telah menemani kami selama perjalanan, terima kasih atas informasinya. Dan juga terima kasih kelapa mudanya enak!